Karena Ibuku, bukan Bapakku
“Vin”
“Vin”
“Vin”
Ada yang memanggil-manggil namaku. Tak kuhiraukan
karena aku lagi asik dengan dunia ku saat ini. Ya, aku suka menghabiskan waktu
ku dengan nongkrong bareng teman-temanku. Main gitar, nyanyi, joget, ngibul dan
banyak hal yang kata ibuku gak berguna bagi masa depanku. Kali ini lagu Titip
Rindu Buat Ayah miliknya Ebiet G. Ade terlantun dari suaraku yang kata banyak
orang merdu mirip Andhika si babang tamvan. Aku sih gak terlalu sependapat,
malah kupikir suaraku persis Rizki anaknya Kang Sule. Kalau ada yang setuju ya
Alhamdulillah.
“Vin..Alvin”
Suara itu semakin lama semakin jelas
ditelingaku yang masih ditempelin ear-phone sejak pukul 01:00 WIB. Ku
balikkan badan ke kiri memeluk guling.
“Vin, bangun, udah jam 6 pagi, mandi,
sarapan, ini seragamnya udah Ibu setrika”, teriak Ibuku dari balik ruang tamu. Biasanya
ibu selalu menyetrika baju seragam sekolahku pagi-pagi di ruang tamu sambil
menonton infotainment.
Dengan langkah tak teratur ku paksa kaki
ku masuk ke kamar mandi. Hampir satu jam ritualku di pagi hari yang sampai hari
ini, ibuku selalu meneriakiku karena tak kunjung keluar dari kamar mandi.
“Vin, cepet nak, dah jam berapa lah ini,
nanti terlambat ujiannya”, pinta ibuku tak kenal lelah
Ku akui, aku gak pernah punya semangat
sekolah. Buku pun tak pernah kubaca pada saat mau ujian apalagi hari biasa.
Entah gimana caranya aku selalu bisa menjawab soal-soal dengan nilai yang KKM.
Sejenak kupikir itu karena pesonaku yang mampu membujuk teman terpintar di
kelasku untuk memberikan jawabannya meski hanya dengan sedikit memelototkan
mataku ke arahnya.
Sudah pukul 07:30 WIB, ku starter
sepeda motor baru ku, Scoopy keluaran terbaru yang di belikan Bapak
berkat bujuk rayuku kepada Ibu. Cukup hanya berjanji aku akan berubah menjadi
anak yang baik, rajin sekolah, gak pulang larut lagi, jadi muadzin pada
hari jum’at di masjid yang tak jauh dari rumahku dan selalu berada di rumah
sepulang sekolah. Tak pelu menunggu lama, seminggu kemudian Bapakku mengajakku
memilih sepeda motor apa yang ku mau. Tapi dengan banyak penekanan supaya aku
memenuhi janji-janji manisku.
Tiba-tiba Scoopy tak mau menyala. Yes,
dalam hatiku, karena aku punya alasan untuk gak masuk sekolah hari ini.
Kepalaku masih pusing kurang tidur semalam karena seingatku aku masih terjaga
saat jarum jam menunjukkan pukul 2 dini hari.
“Kayaknya Alvin gak masuk nih Bu,
motornya gak mau nyala”, kataku meyakinkan Ibu
“Tapi kan hari ini hari pertama PTS, mana
boleh gak masuk”, kata Ibu
seolah memaksaku untuk tetap berangkat
“Bu, ini udah jam 8, ujian di mulai jam
07:15 WIB, percuma juga kalo Alvin berangkat, gak akan diizinkan masuk sama
pengawasnya karena telat sejam”, debatku pernuh argumen
Ibu
terdiam. Memasang wajah kecewanya atas sikapku.
“Ya udah. Sana kabari wali kelasmu kalo
gak bisa masuk hari ini, jangan sampe Pak Yusuf gak tau infonya terus Alvin
dapat surat peringatan kedua”, tegas Ibu.
Seharian aku tidur. Balas dendam atas
kengantukanku. Lagian, mana bisa aku kemana-mana karena motorku gak nyala.
Paling, aku nunggu teman sekolahku yang kebetulan tinggal sekampung denganku
yang akan kuminta mengantarkanku ke bengkel motor menaiki motor bebeknya. Entah
apa, tak sedikitpun ku akan menanyakan seputar hari pertama PTS
kepadanya.
“Den, dah di rumah belom?, aku minta
tolong ya antarkan aku ke bengkel Bang Ucok jam 4 sore nanti, oke?”, pintaku kepada Deni
“Udah Vin, ini lagi nyuci motor, setengah
jam lagi aku ke rumahmu ya. Eh, kenapa tadi gak ikut ujian? Susah kali loh soalnya.
Bu Ani ngerjain kita. Lain yang diajarkannya, lain pula soal yang
dikeluarkannya”, curhat
Deni kesal
“Kek mana lah kau Den, kan motorku rusak,
mana bisa aku masuk hari ini. Kan kau tau Bu Ani kek mana orangnya, maklumin
aja lah kalo soalnya susah”, jawabku cepat
“Kutunggu setengah jam lagi ya, jangan
telat, jam 5 tutup bengkelnya”, kututup percakapanku di telpon. Bukan. Bukan karena takut pulsaku
habis. Lagian kalau pulsaku habis, aku tinggal minta uang kepada Ibuku. Apa
yang tidak diberikan Ibu untukku. Saat aku lapar, dengan sigap Ibu memberiku
makanan yang aku inginkan pada saat itu. Meski awalnya Ibu malas membuatnya,
namun berkat rayuan mautku, Ibu menjadi mendadak semangat berdiri memasak di
dapur. Belum lagi, kalau aku minta uang bensin. Meski Ibu sudah memberi ku dua
puluh ribu kemarin, tapi saat aku memelas minta dua puluh ribu lagi, maka Ibu
akhirnya merogoh dompet anyaman daun pandan yang menggantung di kamarnya.
Hari ini bukan kali pertama aku absen di
sekolah. Surat peringatan pertama sudah kuterima sebulan yang lalu. Selama lima
belas hari aku tidak masuk sekolah. Bukan karena aku tidak berangkat dari
rumah. Aku berangkat lebih pagi, pamit kepada Ibu. Tapi, aku tidak masuk ke
sekolah. Aku berkeliling sebentar sebelum bel masuk berbunyi, nah saat semua
anak-anak masuk kelas dan pintu gerbang ditutup, aku mengegas motorku lalu
parkir di warnet sampai siang. Saat jam pulang sekolah, aku mampir ke rumah
temanku yang sudah pulang sekolah. Ngobrol ngalur ngidul, main gitar, main game
dan banyak hal untuk menghabiskan soreku sampai akhirnya aku pulang ke rumah
dengan seragam sekolah yang masih menempel di tubuhku.
Di rumah hanya ada aku, Ibu dan Bapak.
Rumah itu serasa hampa. Aku bukan anak satu-satunya. Aku punya tiga orang
kakak. Si sulung tinggal jauh di Tangerang bersama keluarganya. Ia
sesekali menelponku untuk menanyakan bagaimana
sekolahku, sholatku dan berpuluh puluh pertanyaan yang ia borong semuanya
hingga aku kewalahan menjawabnya. Kadang ditengah kesibukannya mengajar dan
mengurus kedua putrinya, ia menyempatkan waktu hanya sekedar menyapa ‘apa kabar
adikku tercinta?’. Aku sadar ia menyayangiku, namun karena jarak yang
memisahkan, akhirnya ia hanya menunjukkan kasih sayangnya kepadaku dengan emoticon
love yang jujur aku sendiri gak suka menerimanya. Maka saat notif chat
darinya muncul berupa bentuk hati berwarna merah yang bukan hanya satu tapi
bisa sampai dua puluh hati yang dikirim untukku, adik laki-lakinya si tampan
Alvin. Uweeek aku ingin muntah rasanya. Kakak keduaku laki-laki. Aku
memanggilnya abang. Ia tinggal 3 jam dari rumahku tepatnya orang tuaku. Berbeda
dengan kakak sulungku, abangku sebulan sekali datang bersama istri dan anaknya.
Tapi ia dingin. Tak ada kasih sayang yang ia tunjukkan kepadaku. Mungkin karena
karakterku sebelas dua belas dengannya, makanya ia seperti itu pikirku. Tapi
secara umum, mungkin karena kami sama-sama lelaki. Kakak ketigaku perempuan. Ia
super cuek dan tegas. Kadang aku beradu argumen dengannya dan tidak segan segan
ia memukulku. Tapi aku tidak tinggal diam, ku kejar ia sampai dapat dan membalas pukulannya. Jadilah ia teman
berantem di rumah. Tapi justru itu yang kurindukan sekarang. Ya, aku terlalu
sombong untuk mengakui bahwa aku sayang padanya. Rumah semakin sepi karena semenjak
menikah, ia ikut kerumah suaminya. Yang tersisa hanya aku, Ibu dan Bapak.
Ibu. Apa yang tidak Ibu persembahkan
padaku. Ibu memang insan terbaik yang ada di dunia ini. Semua bisa kudapatkan
melalui Ibu. Entah ancaman apa yang Ibu bilang ke Bapak, saat permintaanku tak
bisa Bapak penuhi. Ibu memang senjata ampuhku untuk mencapai apapun yang ku
mau.
Dengan kegigihannya, setiap pagi
membangunkanku untuk berangkat sekolah. Memberi nasihat supaya jangan lagi
bertindak bodoh menyia-nyiakan masa mudaku. Namun, selalu saja ku dengar dan
lalu ku lupakan. Ibu merawatku saat badanku meriang batuk pilek akibat setiap
malam begadang. Ibu yang dengan sabar menghadapi curhatan wali kelasku tentang
ketidakhadiranku di kelas. Tapi, kadang
aku kasihan kepadanya. Hanya aku yang ia punya disisinya. Kalau boleh di
bilang, aku ini adalah bayi besarnya. Tak sungkan ia menyuapiku, menciumiku,
bahkan menina bobokanku bak bayi. Kalau kupikir-pikir, sepertinya Ibu kesepian.
Diusianya yang mulai menua, Ibu harusnya bahagia dan ceria menghabiskan masa
tua yang indah bersama Bapak. Namun, Bapak selalu sibuk bekerja dan mengurusi
usahanya.
Berbicara tentang bapak. Sosok laki-laki
dewasa yang tegas dan dingin. Tak pernah kurasakan hangat dekapannya. Apalagi kisah-kisah
teladan yang ia ajarkan kepadaku. Bapak mengisi hari-harinya dengan bekerja
keras pagi sampai dengan siang hari, dan
menekuni usahanya di rumah sepulang kerja. Kadang aku iri dan menangis pilu
dalam hati. Saat kunjunganku kerumah teman-temankku dan kudapati kehangatan
cinta kasih sayang terpancar dari bapak-bapak mereka. Aku ingin mendapatkan
kehangatan itu, namun alih- alih kudapatkan. Bentakan, hardikan dan hukuman
yang ku peroleh. Berulang kali kakak-kakakku bilang, Bapak memang keras
mendidik anak-anaknya agar tidak menjadi pribadi yang lemah di masa yang akan
datang. Namun aku tidak juga bisa memahami. Bukan, Bapak bukannya jahat, aku tak pernah bilang Bapakku jahat. Mana
mungkin aku bilang begitu. Motor baru, HP baru, uang sekolah dan semua
kebutuhanku di penuhi oleh Bapakku. Bukankah Bapak adalah sosok Bapak yang baik
dan sayang kepadaku.
“Vin, Bapak kan tumbuh dengan kasih
sayang nenek aja. Kakek meniggal dunia saat Bapak belum genap 6 tahun. Mungkin
itu yang menyebabkan Bapak menjadi sangat dingin kepada anak-anaknya. Tapi
seperti itulah cara Bapak mengekspresikan cintanya. Dengan tindakan. Keseriusan
dalam mencari nafkah untuk istri dan kita anak-anaknya”. Kata kakak sulungku membela Bapak.
“Kau gak kasihan liat Ibu yang udah tua.
Selalu saja kau manfaatkan kasih sayang Ibu dengan membohonginya dengan bujuk
rayumu”, kata abangku
“Udahlah Vin. Jangan nuntut ini itu. Jadi
anak baik-baik aja. Jangan susahin pikiran orang tua dengan surat panggilan
sekolah karena anaknya selalu membolos sekolah”, tegas kakak ku yang ketiga.
Aku menangis sejadi-jadinya saat Guru BK
menanyaiku tentang alasanku bertindak bodoh selama ini. Meninggalkan kelas
tanpa informasi apapun. Tertangkap basah saat merokok di samping toilet
sekolah, tidak pernah mengumpulkan tugas, memperngaruhi siswa lain untuk bolos
sekolah dan banyak lagi kebodohan yang telah kulakukan.
“Jadi Alvin ingin perhatian dan kasih sayang Bapak makanya Alvin berkelakuan
seperti ini?”, tanya Bu
Indah selaku Guru Bimbingan dan Konseling ku
Aku mengangguk pelan.
Bu Indah memberi penjelasan kepadaku
tentang apa yang harus kulakukan untuk memancing ekspresi kasih sayang dan
perhatian Bapak kepadaku
“Ibu akan memberi beberapa tips buat
Alvin. Pertama, usahakan Alvin selalu bangun pagi sendiri, tanpa di bangunkan
Ibu lagi. Sholat lima waktu dan berdoa kepada Allah semua yang Alvin inginkan
dari Bapak. Berangkat sekolah dengan pamit kepada Bapak dan Ibu. Kedua,
sepulang sekolah, Alvin jangan keluyuran. Tetap berada dirumah sampai Bapak
pulang dan laksanakan semua yang Bapak perintahkan. Jangan membantah. Ketiga ,
belajar di malam hari. Kejar semua ketertinggalan Alvin selama ini. Bukankah
Alvin sekarang kelas XII, artinya enam bulan lagi Alvin menghadapi Ujian
Nasional. Kemudian lakukan semua yang Ibu sampaikan ini selama sebulan.
insyaAllah ini akan menjadi kebiasaan baik bagi Alvin. Ibu berharap Alvin bisa
bekerja sama dengan Ibu supaya Alvin tidak seperti ini lagi. Ingat ya Vin, kamu
sudah kelas XII. Sudah waktunya serius bukan main -main lagi”, Bu Indah menutup nasihatnya.
“Iyabu. Alvin akan berusaha berubah
menjadi lebih baik”. Jawabku
sambil sesekali menyeka air mata yang masih mengalir disudut mataku.
Tiba-tiba, suara motor tua menyadarkan
lamunanku. Kutaruh album foto yang sedari tadi ku pegangi dan kubuka
lembarannya satu per satu. Entah kenapa
setengah jam lalu mataku tertuju padanya saat aku menuggu kedatangan Deni di
ruang tamu. Sepertinya Ibu tadi beberes dan lupa mengembalikan album foto ini
ke dalam lemari. Dan sekarang Ibu sudah berada di dapur mempersiapkan mie goreng
permintaanku. Kurasakan mataku basah. Kupandangi foto Ibuku dengan senyum
terbaiknya saat aku di wisuda TK. Kulihat wajahnya tak semurung sekarang. Tak
selemah sekarang, tak serapuh sekarang dan tak sesensitif sekarang. Apakah
mungkin itu karena tingkah lakuku. Karena jelek tabiatku. Karena kebiasaan
burukku dan karena banyaknya permintaanku. Ku ingin. Aku ingin mengembalikan
keceriaannya seperti dulu lagi.
Tiba-tiba aku jadi takut. Takut apa yang
kakak -kakak ku menjadi kenyataan.
“Memangnya Alvin mau Ibu sakit gara-gara
gak sanggup dengan semua akibat dari kelakuan Alvin. Terus Ibu sakit-sakitan
dan kita gak tau umur orang. Gimana kalo Ibu meninggal dunia karena menderita
sakit yang disebabkan oleh Alvin. Demi Allah, kami tidak akan rela”.
Dadaku bergemuruh serasa akan ada badai
tangis yang akan memecahkan kerasnya karang egoku. Tak terasa air mata mulai
membanjiri pipiku. Sambil menciumi foto muda Ibuku, aku bertekad dalam hati.
Aku akan berubah. Berubah perlahan-lahan menjadi lebih baik seperti yang Bu
Indah minta kepadaku. Kala itu, hanya seminggu kujalani tips yang beliau
berikan. Aku akan melanjutkannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Semua ini demi Ibuku bukan Bapakku.
Aku keluar. Menemui Deni dan begegas
menuju bengkel Bang Ucok. Ku berikan senyumku seraya berterima kasih karena ia
telah sudi mengantarkanku. Aku tahu Deni heran. Inilah awalku.
0 Komentar